Blog ini terinspirasi dari ketulusan untuk terbiasa mencurahkan isi hati tanpa menutup-nutupi kelemahan atau masalah. Itulah sesungguhnya kekuatan besar yang akan menjadikan kita tegar. Pandai saja tak pernah cukup untuk membuat kita tegak menghadapi masalah.

Wednesday, December 30, 2009

RESOLUSI TAHUN BARU

Pada malam tahun baru, banyak orang membuat komitmen diri. Melirik lagi ke belakang resolusi apa yang telah berhasil digapai selama 12 bulan sebelumnya.

"Apa resolusimu di tahun baru ini?" tanya seorang teman via SMS.
"Aku berharap agar kehidupanku akan lebih baik lagi di tahun mendatang, dibandingkan tahun kemaren."


Ya, resolusi atau ketetapan hati seakan menjadi mantra ajaib yang diucapkan, bahkan kerap kali ditanyakan ketika tahun berganti. Setiap orang berharap bahwa bergantinya tahun akan memberikan pencerahan, baik dalam dirinya sebagai pribadi maupun dirinya dalam lingkup pergaulan sosial; mencakup soal keuangan, karier, keluarga, dan sebagainya.


Dalam konteks kehidupan pribadi, saat pergantian tahun kita berharap akan diisi dengan hari-hari yang lebih membahagiakan. Bagi yang masih melajang, mungkin berharap akan mendapatkan jodoh sesuai dengan idaman hatinya. Bagi yang telah berumahtangga, berharap kehidupan rumah tangganya akan terus harmonis.

Dalam konteks karier, kita juga berharap akan adanya perubahan yang membahagiakan. Misalnya, bagi yang belum mendapat pekerjaan, berevolusi untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai. Sedangkan bagi yang sudah bekerja, berharap mendapatkan promosi jabatan, kenaikan gaji, atau bahkan berharap mendapatkan pekerjaan baru yang lebih baik. Begitu juga dalam konteks keimanan, kita harus selalau punya resolusi, misalnya tahun ini kita berharap akan lebih baik dalam beribadah, ingin menjadi orang yang lebih sabar, lebih khusyuk, dan sebagainya.

Resolusi kadang tak perlu terungkap lewat kata, terpatri dalam hati saja sudah cukup. Namun demikian, ada juga sebagian orang merasa perlu mencatat setiap resolusinya di buku agenda ataupun buku hariannya, sehingga kita semakin terpacu untuk mencapai asanya.

Setiap orang tentu punya cara tersendiri dalam membuat maupun menggapai resolusi di tahun yang baru. Tapi semua tentu sepakat bahwa setiap pergantian tahun kita berharap segalanya akan menjadi lebih baik daripada tahun-tahun sebelumnya. Kita harus meninggalkan segala kebiasaan buruk di tahun yang lalu guna meraih kehidupan yang lebih baik lagi.

Tentu saja untuk menjadi lebih baik bukanlah semudah membalikkan telapak tangan melainkan harus diupayakan dengan kesungguhan hati, diawali dengan janji pada diri sendiri, dan kemudian dilaksanakan tahap demi tahap sesuai resolusi yang telah ditetapkan.


Untuk semua BLOGGER ......

SELAMAT TAHUN BARU 2010.......
SEMOGA TAHUN-TAHUN MENDATANG MEMBERIKAN KITA SEMUA PENCERAHAN DAN KEMAJUAN DALAM SETIAP LINI KEHIDUPAN....
JANGAN MUDAH MENYERAH, TETAPLAH OPTIMIS DAN SEMANGAT.....

Wednesday, December 16, 2009

FACEBOOK...OH....FACEBOOK

Ia perempuan baik-baik. Wajahnya manis, senyumnya lembut. Ia dikelilingi orang-orang yang mencintai dan dicintainya. Pesta ulang tahun, pertemuan dengan teman, pernikahan, wisuda, liburan, semua itu menyibukkannya dari pekan ke pekan. Itu sebabnya perempuan ini tidak pernah merasa kesepian meski ia single dan sebentar lagi akan berusia 35 tahun.

Lalu wabah Facebook melanda seluruh kota tempat perempuan itu tinggal. Hampir seluruh warga kota membicarakan tekhnologi mutakhir ini. Perempuan ini tidak terlalu suka dengan kecepatan tekhnologi yang membuatnya merasa terus terbelakang. Seperti telepon genggam, ia takkan terpengaruh untuk mengganti yang lebih baru sebelum yang lama tak lagi terpakai.

Tapi teman-teman kantornya benar-benar kecanduan Facebook. Mereka mengaku bertemu dengan teman-teman lama yang sudah berabad tak jumpa. Teman masa kecil, teman SD, teman SMP, SMA, teman les piano, teman waktu kuliah, dan teman-teman yang lain yang bahkan tidak sengaja berjumpa saat di luar kota atau saat-saat tertentu di suatu event tertentu. Bahkan musuh masa kecil yang sekarang tampaknya menyenangkan.

Kemudian muncul seorang pegawai baru di kantor. Namanya Vina. Ia bekerja tiga bulan untuk menggantikan Santi, operator kantor yang sedang cuti melahirkan. Vina masih muda dan ceria bagai mentari pagi yang segar. Suasana kantor yang membosankan, tiba-tiba bergairah. Vina pun ikut Facebook. Bahkan sejak ada Facebook, ia rajin putus sambung. Berganti pacar, berganti cerita.

"Kalah kamu!" kata beberapa teman kepada perempuan itu. "Vina, sudah enam kali ganti pacar sejak ikut Facebook. kamu? Diajak ikutan aja belum masuk-masuk."

Perempuan itu kini menjalin waktunya di Facebook. Ia bertemu dengan banyak teman lama dengan hanya men-search nama mereka. Ia kini punya kegiatan baru. Meng-upgrade status, mencari teman, menjawab konfirmasi pertemanan, memasang foto-foto, chatting, menulis catatan, mengomentari status teman, catatan teman atau foto teman.

Sampai pada suatu hari satu nama India, Raoul Devan, memintanya konfirmasi sebagai teman. Perempuan itu mengingat-ingat. Ia punya beberapa teman India, tapi tidak nama ini. Vina pernah wanti-wanti, kalau ada nama-nama aneh yang tidak dikenal, jangan di-add dulu. Kalau tidak yakin, abaikan saja. Tapi ia menginformasi Raoul Devan sebagai teman.

Mereka pun berkenalan. Mulai dari berhai-hai dan hari-hari berikutnya; jadi ke dokter gigi hari ini? Atau, bagaimana mood bosmu hari ini? Sudah makan? Pertanyaan-pertanyaan pendek yang menggambarkan keintiman.

Raoul. Asli Tamil India yang lahir dan besar di Inggris dan sekarang warga negara Malaysia. Ia seorang aircrafft engineer di satu perusahaan penerbangan terkenal di Kerteh. Tanpa ijin Raoul, heli-heli ini tidak diperbolehkan terbang menjelajah medan-medan yang sulit.

Raoul seorang Hindu yang taat. Ia berdoa pagi dan sore hari di meja sembahyangnya dengan foto ibunya terpajang disana. Dan memakai dung di ujung atas hidung, diantara antara kedua alisnya. Hidupnya teratur dan bisa dideteksi perdetik, karena ia membuat daftar itu semua di kepalanya.

Ia hidup sendiri. Ia sudah terlalu terbiasa tidak bicara dengan siapapun dalam satu hari. Raoul memasak untuk dirinya sendiri setiap hari, hampir tidak memercayai masakan lain kecuali masakan India Utara yang kaya santan dan yogurt. Ia memerhatikan kesehatan. Ia seorang pembersih, tidak merokok, tidak minum-minuman keras, tidak mencari kesenangan seks di jalanan. Ia seorang yang cepat. Masak cepat, tidur cepat. Kecuali bercinta, katanya tertawa.

Bahasa Inggris Raoul sangat indah. Catatannya di Facebook seperti catatan seorang penulis hebat. Perempuan itu sangat menikmati membacanya.

"Tulisan-tulisanmu sangat membumi," puji perempuan itu.
"Terima kasih. Saya merasa tersanjung. Tapi saya sungguh tidak sedang berusaha membuat kamu atau siapapun kagum. Sekarang saya sedang mencari seorang istri. Saya ingin menikah sekali saja selamanya. Itu yang orang tua saya lakukan sepanjang hidup mereka. Saya ingin perempuan yang pintar, tidak tergila-gila dengan uang dan kemewahan. Dulu saya pernah tinggal bersama perempuan Inggris selama dua tahun. Tapi kami berpisah karena dia menginginkan pernikahan dan mempunyai anak."

"Kamu tidak mau menikah dan punya anak?" tanya perempuan itu.
"Dulu. Sekarang saya ingin punya anak. Mungkin beberapa anak. Ibu saya sudah tua. Ia ingin melihat saya punya istri dan anak. Kita sudah berkenalan dan berbicara-bicara, ehm...dua bulan? Maukah mencoba berpacaran?" tanya Raoul serius dan to the point."
"Kita berjauhan," jawab perempuan itu asal saja.
"Sekarang jarak bukan lagi isu penting, sayang. Coba lihat Facebook ini. Menghubungkan dunia hanya dalam satu pad komputer. Mau atau tidak, itu saja masalahnya. Bagaimana?"
"Hmm....saya akan mempertimbangkan, Raoul!."
"Bagus. Saya bisa terbang ke Jakarta kapan saja kamu siap."

Bulan keempat, Raoul dan perempuan itu berjanji bertemu. Pesawatnya tiba di Bandara Soekarno-Hatta pukul 10.35. Waktu yang tepat untuk melakukan apa saja, termasuk bertemu kekasih. Perempuan itu melihat Raoul menenteng ransel di pundaknya. Hari terasa sejuk dan indah.

Raoul menggenggam tangan perempuan itu lembut. Matanya yang hitam berbinar.
"Akhirnya kita bertemu," ucapnya senang.
"Capek?" tanya perempuan itu.
"Tidak setelah melihat kamu. Kamu lebih cantik dari yang saya bayangkan."
"Kamu mau duduk dulu minum kopi?"

Raoul setuju. Mereka minum kopi tubruk khas Toraja. Ternyata Raoul tidak seserius seperti yang perempuan itu pikir. Cara bicaranya lembut dan teratur, percaya diri. Pertemuan mereka tampaknya akan membuahkan hasil yang manis. Keduanya saling memuji tak berhenti.

"Kamu suka pertemuan kita?" tanya Raoul.
"Ya."
Lalu Raoul menyadari perempuan itu tidak membawa tas lain kecuali tas kecilnya.
"Kamu tidak membawa pakaian untuk menginap?" tanya Raoul. Keningnya berkerut.
"Tidak. Saya sudah memesan hotel untuk kamu," jawab perempuan itu.
"Hotel? Baiklah. Kamu akan menginap di hotel itu dengan saya kan?"

Perempuan itu memandang Raoul. Ia tidak pernah berpikir soal menginap bersama. Tidak pernah terlintas dipikirannya. Bagaimana bisa tinggal di satu kamar hotel dengan seseorang yang baru bertemu face to face meski sudah kenal empat bulan di Facebook?

"Saya tidak menginap di hotel dengan kamu, Raoul. Tapi kita akan selalu bersama. Saya sudah siapkan waktu dua hari ini untuk kita bersama."
"Apa maksudmu tidak menginap denganku di hotel, sayang?"
"Saya tidak menginap dengan laki-laki di hotel."
"Tentu saja kamu tidak menginap dengan laki-laki di hotel. Kamu menginap dengan saya, calon suamimu. Kamu ingat? Kita akan bersama-sama selama akhir pekan ini, bukan?"
"Ya Raoul."
"Dan kita akan mencoba tidur bersama, bukan?"

Perempuan itu terperangah. Ia tidak bisa menjawab. Dan Raoul sepertinya bertanya dengan cepat, tidak memberinya jeda untuk berpikir.
"Kenapa diam? Bukankah sepasang kekasih saling mencoba sebelum memutuskan untuk menikah?"
"Ya benar, Raoul. Hanya tidak berpikir kita akan tinggal dalam satu kamar hotel.
"Kenapa tidak, sayang?" suara Raoul lembut.
"Saya belum pernah....seperti itu."
"Jangan takut, sayang. Saya tidak akan memaksa. Tidak pernah memaksa seorang perempuan. Saya hanya ingin kita bersama setiap saat. Bagaimana aku bisa melewatkan malam disini tanpa kamu?"

Perempuan itu memandang Raoul. Betul-betul di luar kemampuannya. Tangan Raoul menyentuh bawah dagunya.
"Itu tidak masalah. Selalu ada yang pertama untuk segala sesuatu, sayang. Bukankah kita sudah membicarakannya? Kita sudah mendiskusikannya banyak jam di telepon atau chatting tentang masalah ini. Kita sudah dewasa, sayang. Kita melakukan segalanya dengan tanggung jawab dan bukan dengan ketakutan."

Perempuan itu gelisah dan ia merasa ada kesalahpahaman di sini. Hatinya membeku dan
kehangatan pagi menguap pergi.
"Raoul, maafkan saya. Saya ingin kita saling mengenal dan melewatkan banyak hal yang menyenangkan disini."
"Tentu, sayang. Itu sebabnya kita akan menghabiskan waktu dua hari ini bersama." Setiap pasangan di dunia melakukan hal-hal yang intim sebelum mereka menikah, bukan?"
"Tidak dengan budaya dan kebiasaan disini, Raoul!."
"Oh, bagus. Budaya dan kebiasaan? Sebentar lagi kamu akan bilang soal agama dan Tuhan. Kamu akan bilang kita tidak bisa tidur bersama sebelum menikah karena persoalan moral? Tidak sadarkah bahwa kamu sedang memanipulasi moral? Tidakkah itu tindakan menipu dan tidak bertanggungjawab? Kamu membuat saya salah berpikir tentang hubungan ini," ujar Raoul cepat.

Mata hitamnya berubah menjadi mata elang yang marah dan hendak menukik turun menghabisi lawannya.
"Raoul, jangan marah. Saya hanya...,"kata perempuan itu putus asa.
"Saya tidak marah, sayang. Saya hanya benci kepada diri saya sendiri yang bodoh. Biaya tiket dan hotel tidak murah. Juga perjalanan saya ini. Kamu tahu saya bukan orang yang suka menghambur-hamburkan uang untuk maksud tidak jelas. Lagipula dengan uang yang saya keluarkan sekarang ini, saya bisa mendapatkan wanita dewasa yang normal."

Perempuan itu terkejut. Raoul membandingkannya dengan perempuan yang bisa dibeli jasanya di jalan?
"Kamu membandingkan saya dengan perempuan yang bisa kamu bayar, Raoul?"
"Saya bukan pemburu perempuan semacam itu tapi saya benar-benar kecewa."

Perempuan itu tidak mempunyai kata-kata lagi. Coffe Shop tempat mereka duduk tiba-tiba menjadi suram diliputi kecemasan.
Akhirnya perempuan itu tak tahan, berkata, "Saya perlu waktu, Raoul."
"Kamu seharusnya mengatakan itu sejak awal kalau itu yang kamu mau. Cinta itu mau melakukan segala sesuatu untuk pasangannya."

Perempuan itu sudah tertinggal jauh.
"Kenapa diam? Kamu masih menginginkan saya disini? Jujurlah sebelum saya mengeluarkan terlalu banyak uang."
"Raoul, bukankah kita bisa melakukan hal-hal lain yang menyenangkan?"
"Tidak sayang. Saya kesini untuk bersama denganmu, bukan berlibur. Itu yang saya tahu. Kalau kamu mempunyai rencana lain, itu bukan dengan saya. Begini saja. Saya tidak akan percaya dengan perempuan yang ditemui di dunia maya. Saya tahu perempuan suka berubah-ubah tapi baru kali ini saya menemukan perempuan yang tidak bertanggung jawab dengan kata-katanya."

Perempuan itu seperti sudah berubah menjadi patung garam.
"Sudahlah, saya tidak mau membuang-buang waktu lagi. Ini uang untuk kopi. Terima kasih untuk pertemuan ini. Lain kali, tolong bicara dengan jelas. Saya akan mencari tiket untuk kembali ke KL. Saya tidak terima dengan apa yang terjadi hari ini."

Raoul bangkit dari tempat duduknya dengan emosi terjaga, menarik ransel dengan wajah lurus, meninggalkan perempuan itu seorang diri di kursinya. Perempuan itu termangu. Sebelum ia menarik napas yang kedua, Raoul sudah menghilang di balik dinding.

Perempuan itu tak percaya apa yang sudah terjadi. Raoul yang ia kenal empat bulan di dunia maya hanya bertahan duduk dengannya kurang dari tiga puluh menit? Ia ingat Vina. Ingat Facebook. Ia akan segera mengganti statusnya sekarang. Dan akan segera menghapus Raoul sebagai temannya di Facebook.(IS)

Saturday, December 5, 2009

PENGALAMAN BERHARGA

Belakangan ini banyak terbongkar kasus korupsi yang dilakukan orang-orang terhormat di Indonesia. Padahal menilik status sosial dan ekonomi mereka, tanpa korupsi pun pasti hidupnya sudah berkecukupan. Karena itu hatiku begitu tersentuh ketika bertemu seorang penyemir sepatu yang berprinsip hanya menerima uang bila sudah bekerja. Aku merasa seperti menemukan oase di padang gersang.



Suatu hari sepulang bekerja, aku mampir ke sebuah pusat perbelanjaan. Setelah berputar kesana-kemari dan sudah mendapatkan semua keperluan, aku bergegas pulang karena harus ke tempat lain. Di dekat parkir mobil, aku dihadang seorang anak kecil yang menawarkan jasa menyemir sepatu. Karena sedang terburu-buru dan merasa sepatuku tidak perlu disemir, akupun tidak menghiraukannya. Tapi anak itu terus membuntutiku sampai ke tempat parkir. Sebenarnya aku sebal melihat anak kecil yang ngotot itu. Tapi karena melihat tubuhnya yang kurus dan penampilannya yang memprihatinkan, aku merasa kasihan. Segera kuulurkan uang dua puluh ribu rupiah, aku berharap, setelah menerima uang itu dia tidak lagi memaksaku menyemir sepatu.

Memang benar, meski terlihat ragu-ragu, tapi akhirnya dia menerima uang pemberianku dan kemudian berlalu. Akupun lega. Segera kumasukkan barang-barang belanjaan dari trolley ke dalam bagasi mobil.

Ketika sedang sibuk mengemasi barang belanjaan, aku dikejutkan kehadiran seorang laki-laki separuh baya di sampingku.
“Mbak yang tadi memberi uang pada anak saya ya?” tanyanya.
Kulihat di sebelah bapak itu ada anak penyemir sepatu yang tadi menawarkan jasanya padaku.
“Iya betul. Ada apa Pak?” tanyaku keheranan.
“Maaf, saya mau mengembalikan uang Mbak. Anak saya hanya boleh menerima bayaran kalau sudah bekerja. Dia tidak boleh menerima uang tanpa bekerja. Itu namanya mengemis.”


Aku sungguh terkejut mendengar perkataan bapak itu. Kuperhatikan dirinya. Penampilannya sama menyedihkan dengan anaknya. Tampak lusuh dan mungkin menahan lapar. Dia juga membawa kotak berisi peralatan menyemir. Aku begitu takjub melihat orang tak berpunya seperti dirinya bisa begitu tegas menolak uang yang sebenarnya ia butuhkan.

“Tidak Pak. Biar saja, saya ikhlas kok,” aku menolak karena iba melihat keadaan mereka berdua.
“Tidak, anak saya tidak boleh berbuat seperti ini. Nanti jadi kebiasaan yang tidak baik,” katanya tegas.


Aku tertegun mendengar kata-katanya itu. Namun aku juga mengakui kebenaran ucapannya.
Ia kemudian memaksaku menerima selembar uang dua puluh ribuan yang tadi kuberikan kepada anak itu.
Karena tidak ingin membuat keributan, terpaksa aku menerimanya sambil memikirkan bagaimana caranya agar uang itu tetap bisa kuberikan kepada anak itu tanpa membuat ayahnya marah. Tanpa membuang waktu segera kulepaskan sepatuku dan menyodorkannya pada anak penyemir tadi.
“Tolong disemir ya Dik, tapi jangan lama-lama soalnya saya harus segera ke tempat lain,” kataku. Aku lalu membuka pintu mobil dan duduk menunggu di dalam.

Anak itu segera menyemir sepatuku, dengan disaksikan ayahnya. Lebih kurang sepuluh menit kemudian, sepatuku selesai disemir. Anak itu mengulurkan sepatu pantofelku yang kini sudah mengkilat. Aku segera mengenakannya dan kemudian memberikan uang dua puluh ribu rupiah yang tadi dikembalikan di bapak, pada anak itu. Dia menerimanya dengan gembira sambil berkata, “Terima kasih, Bu.”

Aku tersenyum. “Terima kasih juga, Dik,” jawabku sambil menyalakan mesin mobil dan berlalu meninggalkan mereka.

Rasa terima kasih yang kuucapkan itu bukan hanya karena sepatuku telah disemirkan, namun juga karena mendapatkan pelajaran berharga tentang keteguhan hati. Meskipun miskin, bapak anak itu pantang mengemis dan menerima uang tanpa bekerja. Dia juga mendidik anaknya melakukan hal serupa. Semoga orang-orang terhormat yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang, menyadarinya dan mengambil suri teladan dari keteguhan hati seorang penyemir sepatu. Dan akupun mendapatkan pelajaran berharga yang tidak akan kulupa sepanjang hidupku.

RAHASIA MILIUNER

Alkisah, suatu hari, seorang pria yang menganggur melamar jadi office boy di kantor Microsoft. Sesudah diwawancarai manajer HRD, pria itu di...