Blog ini terinspirasi dari ketulusan untuk terbiasa mencurahkan isi hati tanpa menutup-nutupi kelemahan atau masalah. Itulah sesungguhnya kekuatan besar yang akan menjadikan kita tegar. Pandai saja tak pernah cukup untuk membuat kita tegak menghadapi masalah.

Sunday, October 17, 2010

RAHASIA HATI

Malam sudah larut, hari telah menjadi sunyi. Hanya suara detak jam dinding dan sesekali terdengar deru kendaraan yang melintas. Aku termangu di sudut tidurku. Lalu aku bangkit untuk duduk di dalam gelap.

Aku menghela napas dalam-dalam. Ada perasaan sedih. Perasaan sebagai orang yang kalah. Rasanya sungguh tidak enak menjadi orang yang kalah. Benarkah aku telah pergi darimu? Kusadari ketololanku. Dimana kutinggalkan kau dengan sederetan tanya yang panjang. Dan membiarkanmu dalam keterlukaan, tenggelam dalam harapan-harapan. Ataukah sebaliknya?

Namun kini, kau menghantuiku. Aku sering merasa kangen sekali. Seberapa aku baik-baik saja, aku merasa ada yang hampa sejak saat itu. Aku sangat kuat dulu. Bertahan dalam kesendirianku dan berbagi dengan orang lain tanpa harus membebaninya dengan sejumlah janji. Tapi tidak lagi setelah kutemukan engkau, dan kemudian diri kita saling berjanji. Namun, aku juga yang mengingkari sejumlah janji itu, lukaimu, sakitimu. Dalam sekian kealpaan ini, maukah kau bukakan kembali pintu jalan pulang ke hatimu?

Aku bertahan dari detik ke detik, aku menyentuh urat nadiku selama berpuluh-puluh menit, bertanya-tanya, kenapa ia bisa bertahan dari detak ke detak? Aku bersumpah, aku akan menemukan cara dan tak ada orang lain yang bisa menghentikan cintaku padamu.
Aku lelah bercakap sendiri, aku menginginkanmu, aku sekarat tak habis-habis. Bukakan aku jalan pulang kepadamu untuk saling berbagi lagi dan menjadikanku perempuan yang tidak bicara pada dirinya sendiri.

Cemas ini bangkit lagi, menggelembung memenuhi ruangku, penuh, padat, dan siap meledak. Aku merasa saat inilah kita menyelesaikan kisah yang mengambang. Kehadiranmu di pikiranku memberi ruang pada hatku untuk merasakan sakit dan kerinduan sekaligus. Sementara jasadku Cuma bisa terdiam merenungi hari-hari kemarin hidupku.

Aku begitu mengingatnya, ketika kau akan menyampaikan kejutan termanis. Masih kurasakan suasana hatiku saat itu, berbahagia atau sesungguhnya kecemasan yang seharusnya ada? Kedua hal itu silih berganti menghantui terus-menerus akhir-akhir ini.

Ketika itu kau akan menghamparkan permadani terindah lalu memintaku menapakinya bersama, menuju istanamu. Kumohon dalam hati agar jangan memintaku kala itu, karena aku masih seorang pengecut. Mengaku menjadi perempuan yang membutuhkan pasangan, sekaligus bersembunyi ketika jemarimu datang bersambut.

Aku terbentur-bentur oleh gemuruh itu. Tahulah kini aku bertempur dengan apa. Ketegangan lain mulai merambah perlahan ke seluruh sel-sel tubuhku. Aku bagaikan patung bernyawa. Ketika itu aku Cuma termangu. Aku takut kehilanganmu. Aku menyadari benar-benar membutuhkanmu justru ketika kau jauh dariku.

Kau menatapku lekat, seakan kau tahu aku meragukan sesuatu. Tapi masih saja aku menyelinap ke dalam pupil matamu, berharap menemukan ketidaksungguhan di sana. Karena aku yakin sebesar kesungguhan itu sendiri, bahwa kau tidak sedang melontarkan gurauan segar di sore hari. Melihat geletar matamu, kau menyampaikan pesan untuk membuatku berani bicara. Untuk berani kehilanganmu juga?

Aku merasakan lunglai lengan ini dijatuhkan perlahan. Jemariku masih dalam genggamanmu, tapi ia terkulai disana. Seakan tidak bernyawa, tak ada sel dan otot yang hidup di situ. Ia mati sebelum segalanya terjawab, sebelum pencabut jiwa itu beranjak sambil mencengkeram hati yang telah menjadi kepingan dalam telapak tangan. Seperti dugaanku, karena ketololanku, tepat sama dengan skenario yang ada dalam benakku, tokoh lelakinya tidak menerima ketololan perempuannya.

Tapi tidak seperih ini. Aku mungkin tak layak kau perlakukan seharum bunga, maka maki saja aku. Kenapa kau tidak bertanya kepadaku, bagaimana hal itu terjadi, atau apa saja, toh sudah kubuka pembalutnya, kuperlihatkan lubangnya yang menganga.
Aku yakin takkan lagi kudengar suaramu, yang selalu membasahi kering hatiku. Sebesar keyakinanku bahwa kau pun akan pergi menjauh, menghilang seakan kau punya tempat yang jauh di bawah bumi, tak terjangkau.

Aku berharap kau tidak benar-benar pergi. Ingin kau tunjukkan lukamu padaku bahwa kau tersakiti lebih dalam dibanding aku? Maka aku akan membiarkanmu terluka pula, tak ada yang harus aku balut. Ataukah harus dengan berlari mengejarmu dan memohon kau tetap tinggal di sisiku, memohon cintamu, menyodor-nyodorkan seribu satu kebaikanku sebagai seorang perempuan, kelebihanku sebagai istrimu kelak, lebih dari kebodohan-kebodohanku.
Aku akan mengikuti caramu memperlakukan luka itu. Kadang rasa marah membuat seseorang menjadi kuat. Aku tidak pernah merasa sekuat ini sebelumnya. Kehilangan demi kehilangan adalah sebuah garis panjang yang melilit hidupku dan aku tidak ingin menambah panjang daftar ini lagi jika kau pun pergi seperti mereka.

Setajam apapun luka yang diberikan pada masa laluku, aku berusaha keras mendandani hatiku. Agar kelak ada hal lebih baik yang bisa kutawarkan pada diriku sendiri. Aku melihat waktu terbentang teramat panjang di depanku. Apakah keikhlasan yang akan menang atau kebencian, aku Cuma ingin salah satu dari dua kemungkinan itu saja. Namun aku tidak ingin melupakannnya, semua yang telah kita tempuhi bersama, sakit dan bahagia itu. Aku pun juga ingin utuh dan bulat, aku tidak ingin mati tanpa makna, toh sudah terlambat untuk surut.

Bertahun aku mengobati lukaku dengan mencoba untuk tidak menyisakan dendam, tetapi menerima dengan penuh kebaikan atas luka-luka yang lain. Aku tidak membalut lukaku dengan erat, memberinya obat yang menimbulkan perih yang kemudian akan mengering. Tapi kubiarkan kuusap dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, seakan kupelihara luka itu dengan sangat baik untuk terus hidup dan tumbuh bersamaku.

Sesungguhnya kau melakukan banyak hal dalam diammu. Kau menampar mukaku untuk membuatku terbangun dari cengkeram ini. Kau membuatku punya rasa marah dan tidak terima atas penghinaan dari mana pun. Kau tahu bagaimana rasanya menjadi berarti. Aku tak lagi punya ketakutan, tak lagi merasa terbelah, aku merasakan keutuhanku dan bahagia di dekatmu.

Jauh di atas pencapaian kebahagiaan itu adalah kesadaranku bahwa kau yang menemukanku. Maka aku ingin mengucapkan terima kasih padamu karena berbuat hal ini padaku.

Kau bisa membayangkan apa jadinya bila kau tidak membuatku marah ketika itu. Maka aku akan menjadi perempuan yang paling nelangsa, menghabiskan waktuku dengan berurai air mata selama mungkin, bahkan mungkin memotong nadiku dan berubah menjadi hantu atau mungkin kunikmati saja sekalian ketidakutuhanku. Tapi bagaimana pun aku juga ingin selalu baik, walau aku punya alasan untuk menjadi sebaliknya.

Kau melakukan hal yang benar, meninggalkan aku saja sekalian daripada menghiburku dengan kata-kata manis yang sebenarnya untuk dirimu sendiri. Setidaknya, sampai saat ini kita telah melakukan banyak kebaikan untuk hidup kita kelak, bahwa kita tak pernah membohongi sedikitpun yang ada pada hati kita. Inilah makna yang ketemui dari sebuah kejujuran yang paling hakiki, jujur pada diri sendiri.

Bunyi alarm yang terdengar nyaring menyadarkan lamunanku. Tak berdaya aku bangkit dari dudukku. Setelah ini aku tahu apa yang sebaiknya aku perbuat.
Aku menarik napas lega. Aku yakin bahwa aku tidak sendiri. Kubasuh sebagian tubuhku, lalu mengadu kepada Zat yang Maha Tahu. Benarkah perasaan ini atau hanya Dia yang tahu?

No comments:

Post a Comment

RAHASIA MILIUNER

Alkisah, suatu hari, seorang pria yang menganggur melamar jadi office boy di kantor Microsoft. Sesudah diwawancarai manajer HRD, pria itu di...