Blog ini terinspirasi dari ketulusan untuk terbiasa mencurahkan isi hati tanpa menutup-nutupi kelemahan atau masalah. Itulah sesungguhnya kekuatan besar yang akan menjadikan kita tegar. Pandai saja tak pernah cukup untuk membuat kita tegak menghadapi masalah.

Monday, January 11, 2010

MAAF, GESER SEDIKIT BU !


Usia masih bisa disembunyikan, wajah dan kerut merut kulit? Ditunjang tubuh yang berkembang sesuai dengan pertambahan usia, sudah pasti menunjang seseorang terutama seorang perempuan untuk dipanggi “ibu” tanpa harus melihat status.

Jadi teringat tiga bulan yang lalu, saat jam istirahat, seorang teman datang ke kantor dengan wajah yang cemberut dan muka ditekuk seperti menyimpan segumpal kekesalan yang dalam. Why?

“Aku kesel banget di Mal kemaren, waktu naik lift, karena penuh, eh, ada cowok dengan enteng bilang, “Maaf bu, bisa geser dikit?” “ Aku pikir bukan sama aku, ternyata mata cowok itu menatapku dengan santun. Saat itu belum terlalu kesel sih, tapi pas angkot yang penuh pun, kenek di sampingku bilang sambil agak menyentuh bahuku memintaku untuk bergeser, “Maaf bu, geser sedikit.”

Mendengar penjelasannya, kita semua tertawa. “Oh itu yang membuat sahabatku mukanya muram bak mendung gak jadi hujan.” Kalau ditilik sejarahnya, siapa yang gak kesel dan marah, “Lha wong dia masih gadis, muda, dan kulitnya pun masih kencang. Tapi kenapa dipanggil ibu?”. Tetap saja dia ngotot tidak terima dengan panggilan itu, “Aku khan belum jadi ibu, panggil ‘mbak’ apa salahnya, toh aku masih kelihatan muda, walau badanku melar.” Gerrr…..kita semakin tertawa mendengar celotehannya.

Lain pula cerita temanku yang lain, “Aku boleh saja dibilang orang masih muda, sekarang baru 29 tahun, sudah menikah dan punya buntut dua, dan masih kuat jalan kemanapun. Tapi kalau malam tiba dan menjelang tidur, rasa lelah dan letih mulai terasa. Sudah mulai sering sakit kepala. Kata orang, semakin bertambah usia semakin banyak keluhan. Tapi aku masih ingin bergaya dengan busana jins walau tidak ketat, serta ikut teman-teman kantor yang masih muda-muda, jalan-jalan ke Mal walau kakiku seringkali terasa sakit, telapak kaki sudah terasa “nyut-nyut an” jika kelelahan akibat banyak jalan.”

Status antara kita yang masih lajang dengan yang sudah menikah, tidak menjadi penghalang untuk berbagi masalah apa saja. Ada seorang rekan di kantor yang sudah berumur, bahkan paling berumur diantara rekan perempuan, kami tidak menyangka, kalau dia sudah berumur, tapi belum terlihat seperti ibu-ibu yang biasanya bertubuh subur padahal anaknya sudah empat orang, dan yang tertua sudah beranjak dewasa. Bahkan kita tidak percaya kalau usianya sudah mencapai angka 47 tahun, namun pembawaannya selalu ceria, ramah, energik, dan menyenangkan bagi siapa pun yang melihatnya. Lantas wajar pula, jika rekan-rekan di kantor memanggilnya dengan sebutan “mbak” bahkan “bunda”.

Sesaat aku termenung lalu tersenyum simpul penuh makna. Teringat beberapa tahun yang lalu, karena kendaraan pribadi yang biasa aku bawa ke kantor sedang diperbaiki di bengkel langgananku, aku memutuskan berangkat ke kantor menggunakan kendaraan umum yaitu, angkutan kota (angkot). Berbusana kantor yang rapi, lengkap dengan tas di tangan dan sepatu pantofelku yang berwarna hitam mengkilap, aku menghentikan angkot yang melintas di pinggir jalan tak jauh dari rumahku. Di dalam angkot, aku mengambil bangku sebelah kanan dekat pintu, saat ada penumpang lain yang masuk, aku sempat termangu saat sopir angkot itu dengan hormat menyapa, “Maaf Bu, bisa agak kedalam?”. Anehnya, panggilan itu terasa menghujam batinku. Padahal panggilan “ibu” sering aku terima saat di kantor atau saat jam-jam kerja. Sebutan itu tidak menjadi masalah bagiku. Tapi mengapa hari itu terasa aneh. Entahlah.


Ternyata panggilan “ibu” dari orang lain yang diterima bagi seorang yang menganggap dirinya masih muda, baik yang masih lajang maupun yang tidak, membuat aku dan sahabat-sahabatku termotivasi untuk berjuang menurunkan berat badan dan beresolusi untuk sehat lahir maupun batin. “Mulai saat ini kita harus cantik!”, Ayo semangat, walau kita sudah berkepala tiga, gak salah harus tetap cantik, harus “laku” tahun ini!” Begitulah kita bersepakat. “Jangan mau kalah sama Rina yang hitam, judes, cupu...korban mode, tapi bisa dapat suami kaya dan ganteng, walau sebenernya kita sudah tahu sih gimana kelakuan suaminya, Ridho, saat mereka memutuskan untuk cepat-cepat menikah.” Begitulah rumpii-an temanku saat dia menumpahkan kekesalannya terhadap salah seorang temannya. Diantara kita, memang dia yang paling bawel, apa adanya tapi menyenangkan dan setia kawan banget. Kita pun terus digayuti kebahagiaan, saling berbagi, diselingi dengan candaan dan tertawa tiada henti. Suasana saat itu benar-benar heboh.

Atas saranku juga, aku yang sangat getol dan rajin berolahraga, mengajak teman-temanku untuk masuk kelas kebugaran, aerobic dan fitness serta jogging dan senam pagi di lapangan setiap minggu pagi, sambil melakukan diet sehat. Sayur bening, tahu tempe, ayam tanpa kulit dan ikan tanpa digoreng, serta buah, akhirnya menjadi menu kita setiap hari ke kantor untuk makan siang. Tidak makan makanan yang mengandung karbohidrat saat sarapan pagi dan di malam hari, serta banyak minum air putih.

Hampir dua bulan menu tanpa bumbu kental itu menjadi santapan favorit kita. Alhamdulillah, kemauan keras itu menutup mata kita untuk tidak tergoda oleh makanan enak yang kita santap setiap siang, atau gorengan dan martabak keju yang yummy. Kita berkomitmen dengan program diet ini.

Aku yang saat itu tidak terlalu terpengaruh dengan kondisi teman-teman yang hampir semuanya mengeluhkan soal bentuk tubuh, aku hanya berprinsip yang terpenting adalah bagaimana “menjalani hidup sehat” yaitu sehat lahir maupun batin. Terutama sehat secara batin, maka lahiriah kitapun akan terlihat sehat pula, terutama jika selalu beribadah. Jika pikiran kita sehat, kita ikhlas menerima kondisi apapun, tidak cepat tersinggung, tidak gampang marah, tidak sombong dan menjadi orang yang menyenangkan bagi orang lain. Otomatis jika kita sehat lahir batin, setiap hari kita bersemangat, percaya diri dan ikhlas memberikan keramahan tanpa pamrih dan selalu tersenyum dengan tulus kepada siapa pun. Menurutku itulah yang terpenting karena itu juga merupakan bentuk ibadah yang tidak bisa dibayar dengan materi dan sangat manis hasilnya.

Akhirnya aku menyadari, panggilan atau sebutan “ibu” diucapkan orang lain sebagai suatu sapaan sebagai tanda hormat. Juga merupakan sapaan bagi seseorang karena ruang lingkupnya, bisa karena pekerjaan atau menghargai orang yang lebih tua. Kini kita memang tidak bisa lagi menghindar dari “panggilan takdir”, ditunjang usia memang akan terus melaju dan perkembangan tubuh yang semakin melebuarr.....karena semakin berkurangnya metabolisme tubuh kita. Gak perlu resah, karena itu bisa terjadi pada siapa pun laki-laki maupun perempuan.


Pengalaman sahabat-sahabatku dan orang –orang di sekillingku, “Ahh…..benar-benar oase di padang gersang.” Aku harus tetap memegang erat janji pada diriku sendiri bahwa aku harus “Konsisten terhadap komitmen, segala sesuatu yang berlebihan dan serba instan itu, tidak baik akibatnya.”


“Jangan berpikir untuk cantik, tapi menjadi ramah dan menyenangkan”

1 comment:

  1. Mbak Ety..tulisannya memotivasi sekaliii..ini dilema antara perasaan jiwa muda dan penerimaan sekitar..sering dialami khususnya kita yg sudah bekerja atau terlihat lebih dewasa..di satu sisi ada rasa tidak terima, tapi di sisi lain harus legowo..but life must go on..tetap bersyukur artinya kita masih dihargai 😊👏

    ReplyDelete

RAHASIA MILIUNER

Alkisah, suatu hari, seorang pria yang menganggur melamar jadi office boy di kantor Microsoft. Sesudah diwawancarai manajer HRD, pria itu di...